Ekonomi Kerakyatan, dari Bung Hatta sampai Jokowi? - Berita - Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan

Whatsapp Pelayanan Jika Ada Gangguan 0813-3378-3485

Kami berkomitmen memberikan Pelayanan Prima sesuai Standar Pelayanan.

Selamat datang di website Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan

Ekonomi Kerakyatan, dari Bung Hatta sampai Jokowi?

Ekonomi Kerakyatan, dari Bung Hatta sampai Jokowi?

31 Mei 2015 | Kegiatan Statistik Lainnya


Ekonomi Kerakyatan, dari Bung Hatta sampai Jokowi?

(Muhammad Dedy, Kasie Statistik Harga Konsumen dan Harga Perdagangan Besar BPS Provinsi Sumatera Selatan)

 

Pembukaan Undang Undang Dasar Tahun 1945 mengamanatkan bahwa Negara Indonesia didirikan dengan tujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pengejawantahan dari amanat Undang Undang Dasar 1945 tersebut, khususnya yang berkaitan dengan frasa “memajukan kesejahteraan umum,” pada hakekatnya merupakan tugas semua elemen bangsa, yakni rakyat di segala lapisan di bawah arahan pemerintah. Mengacu pada definisi tujuan pendirian negara yang mulia tersebut, kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia harus dicapai dengan menerapkan prinsip “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat di seluruh sektor perekonomian” atau yang lebih dikenal dengan demokrasi ekonomi atau sistem ekonomi kerakyatan.

Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo- Yusuf Kalla (Jokowi-JK) semangat pembangunan ekonomi kerakyatan digaungkan kembali lewat ideologi TRISAKTI. TRISAKTI mewadahi semangat perjuangan nasional yang diterjemahkan dalam tiga aspek kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu berdaulat dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Untuk menunjukkan prioritas dalam jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat dalam bidang politik, mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan, maka dirumuskan Sembilan agenda prioritas pembangunan yang dikenal dengan NAWACITA. Butir ke-7 dalam NAWACITA adalah mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik, yaitu dengan membangun kedaulatan pangan, mewujudkan kedaulatan energy, mewujudkan kedaulatan keuangan, mendirikan Bank Petani/ Nelayan dan UMKM termasuk gudang dengan fasilitas pengolahan paska panen ditiap sentra produksi tani/nelayan, mewujudkan penguatan teknologi melalui kebijakan penciptaan sistem inovasi nasional.

Jika kita cermati dua (2) momen waktu diatas, antara teks pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia, dengan terpilihnya Presiden Joko Widodo-Yusuf Kalla (Jokowi-JK) di akhir tahun 2014 tidak kurang terpaut 69 tahun lamanya. Apakah selama ini sistem ekonomi kerakyatan, yang sudah diamanatkan dalam konstitusi itu, belum terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Untuk menjawab hal tersebut, kita perlu mengetahui sejarah munculnya konsep dan semangat menjalankan  sistem ekonomi kerakyatan di Indonesia.

Konsep ekonomi kerakyatan telah jauh-jauh hari dipikirkan oleh Bung Hatta—wakil presiden pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau, bahkan jauh sebelum Schumacher—yang terkenal dengan bukunya Small is Beautiful, dan Amartya Sen—pemenang Nobel 1998 Bidang Ekonomi, berpendapat bahwa ekonomi kerakyatan merupakan bentuk perekenomian yang paling tepat bagi bangsa Indonesia (Nugroho, 1997). Orientasi utama dari ekonomi kerakyatan adalah rakyat banyak, bukan sebagian atau sekelompok kecil orang. Bung Hatta melalui artikelnya yang berjudul “Ekonomi Rakyat” yang diterbitkan dalam harian Daulat Rakyat (20 November 1933), mengekspresikan kegundahannya melihat kondisi ekonomi rakyat Indonesia di bawah penindasan pemerintah Hindia Belanda. Dapat dikatakan bahwa “kegundahan” hati Bung Hatta atas kondisi ekonomi rakyat Indonesia—yang waktu itu masih berada di bawah penjajahan Belanda, merupakan cikal bakal dari lahirnya konsep ekonomi kerakyatan.

Menurut Mubyarto (1999) ekonomi rakyat adalah sistem ekonomi yang dioperasionalkan melalui pemihakan dan perlindungan penuh pada sektor ekonomi rakyat. Kontribusi rakyat dalam bidang ekonomi antara lain pada  sektor pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, industri kerajinan rakyat, industri kecil serta dalam perdagangan atau kegiatan swadaya lainnya baik di pedesaan maupun di kota. Ciri utama ekonomi rakyat adalah subsisten dan dengan modal utama tenaga kerja keluarga dengan modal dan teknologi seadanya (Mubyarto, 1999).

Berbeda dengan ekonomi konglomerasi, maka ekonomi rakyat berperan dalam pemerataan pembangunan. Namun dalam perkembangannya cenderung tertinggal, hal ini disebabkan oleh berbagai kendala, mulai permodalan, manajemen, teknik dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Istilah ekonomi rakyat diterima dan masuk dalam GBHN 1993 dan Tap MPRS No. II Tahun 1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969. Pencantuman ekonomi rakyat tersebut dilatarbelakangi oleh risaunya anggota MPR tentang ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial. (Mubyarto, 1999)

Untuk mengetahui sejauhmana cita-cita bapak pendiri bangsa, yang kemudian kembali digaungkan oleh presiden terpilih saat ini telah terejawantahkan di bumi pertiwi, sebaiknya kita menggenali dan dapat membedakkan sistem ekonomi kerakyatan dengan sistem ekonomi lainnya utamanya sistem ekonomi kapitalis dan liberal yang dianut banyak negara saat ini. Berikut perbedaan sistem ekonomi kerakyatan dengan sistem ekonomi kapitalis ditinjau dari PERAN NEGARA DALAM EKONOMI (Revrisond Baswir, 2009) :

Ekonomi Kerakyatan

Kapitalisme

Negara Kesejahteraan

Ekonomi Neoliberal

1.     Menyusun perekonomian sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; mengembangkan kooperasi (pasal 33 ayat 1)

2.     Menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; mengembangkan BUMN (Pasal 33 ayat 2)

3.     Menguasai dan memastikan pemanfaatan bumi, air dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat 3).

4.     Mengelola anggaran negara untuk kesejahteraan rakyat; memberlakukan pajak progresif dan memberikan subsidi.

 

5.     Menjaga stabilitas moneter.

 

6.     Memastikan setiap warga negara memperoleh haknya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat 2).

7.     Memelihara fakir miskin dan anak terlantar. (Pasal 34).

1.     Mengintervensi pasar untuk menciptanya kondisi kesempatan kerja penuh.

 

 

2.     Menyelenggarakan BUMN pada cabang-cabang produksi yang tidak dapat diselenggarakan oleh perusahaan swasta.

3.     Menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan pembangunan.

 

 

4.     Mengelola anggaran negara untuk kesejahteraan rakyat; memberlakukan pajak progresif dan memberikan subsidi.

5.     Menjaga stabilitas moneter.

6.     Memastikan setiap warga Negara memperoleh haknya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.

7.     Memelihara fakir miskin dan anak terlantar.

1.     Mengatur dan menjaga bekerjanya mekanisme pasar; mencegah monopoli.

 

 

2.     Mengembangkan sektor swasta dan melakukan privatisasi BUMN.

 

 

 

3.     Memacu laju pertumbuhan ekonomi, termasuk dengan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi masuknya invetasi asing.

 

4.     Melaksanakan kebijakan anggaran ketat, termasuk menghapuskan subsidi.

 

 

5.     Menjaga stabilitas moneter.

6.     Melindungi pekerja perempuan, pekerja anak dan bila perlu menetapkan upah minimum.

 

 

7.     -

 

Peran negara dalam ekonomi menunjukkan sistem ekonomi yang dianutnya, dari ketujuh butir diatas dapat kita lihat dan rasakan apakah sistem ekonomi kerakyatan yang telah diamanatkan dalam konstitusi dan didengukan dari era Bung Hatta sampai rezim pemerintahan Jokowi-Jk sudah terejawantahkan di bumi pertiwi.

Sebagai renungan, Sri Edi Swasono (2015) mengemukakan beberapa paradigma baru perekonomian yang mendukung “hidup”nya sistem ekonomi kerakyatan dibumi pertiwi yang diantaranya adalah :

1.  Sistem ekonomi harus meninggikan asas perorangan (self interest) menegakkan asas bersama (mutual interest), menghidupkan kembali kebersamaan dan asas kekeluargaan sesuai tuntutan dunia baru setelah runtuhnya Tembok Berlin (1989) yang mengukuhkan the brotherhood of men.

2.  Sistem Ekonomi harus mengunggulkan “daulat rakyat” dan meminggirkan “daulat pasar”, artinya dalam pembangunan yang dibangun adalah rakyat, bukan modal. Pembangunan ekonomi perlu diposisikan sebagai derivat dari pembangunan rakyat, bangsa dan negara.

3.  Perubahan paradigm berlanjut dari yang semula berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan pembagian yang lebih merata dari pertumbuhan ekonomi itu, menjadi berorientasi pada pembangunan untuk meninggikan harkat martabat manusia, artinya tidak lagi pembangunan adalah hanya untuk mencapai peningkatan “nilai tambah ekonomi”, namun juga sekaligus meningkatkan “nilai tambah social-kultural”. Hal ini mengacu pada pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 bahwa “ tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

4.  Sistem Ekonomi tidak mengabaikan pendekatan institusi, bahwa ilmu ekonomi menampung pesan Kontitusi, mengemban cita-cita dan mimpinya masyarakat, menampung kearifan lokal yang membahagiakan rakyat, mengelar Indonesianisasi melalui modernisasi yang bukan westernisasi. Ini berarti membangun dan mengembangkan ilmu amaliah dalam beramal ilmiah.

5.  Pembangunan memperoleh definisi barunya yaitu proses meningkatkan kemampuan rakyat (Sen), oleh karena itu strategi pembangunan tidak saja sekadar untuk mencukupi kebutuhan hidup massa rakyat, tetapi massa rakyat itu sendiri haruslah produsen-produsennya.

 

Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera SelatanJl. Kapten Anwar Sastro No 1694 Palembang

Sumatera Selatan 30129 Telp (0711) 351665

318456

Email : bps1600@bps.go.id. 

logo_footer

Tentang Kami

Manual

S&K

Daftar Tautan

Hak Cipta © 2023 Badan Pusat Statistik