Ekonomi Kerakyatan, dari
Bung Hatta sampai Jokowi?
(Muhammad Dedy, Kasie Statistik Harga Konsumen dan Harga Perdagangan
Besar BPS Provinsi Sumatera Selatan)
Pembukaan Undang Undang Dasar Tahun
1945 mengamanatkan bahwa Negara Indonesia didirikan dengan tujuan melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia. Pengejawantahan dari amanat Undang Undang Dasar 1945
tersebut, khususnya yang berkaitan dengan frasa “memajukan kesejahteraan umum,”
pada hakekatnya merupakan tugas semua elemen bangsa, yakni rakyat di segala
lapisan di bawah arahan pemerintah. Mengacu pada definisi tujuan pendirian
negara yang mulia tersebut, kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia harus
dicapai dengan menerapkan prinsip “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat di
seluruh sektor perekonomian” atau yang lebih dikenal dengan demokrasi ekonomi
atau sistem ekonomi kerakyatan.
Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo- Yusuf
Kalla (Jokowi-JK) semangat pembangunan ekonomi kerakyatan digaungkan kembali
lewat ideologi TRISAKTI. TRISAKTI mewadahi semangat perjuangan nasional yang
diterjemahkan dalam tiga aspek kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu
berdaulat dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian
dalam kebudayaan.
Untuk
menunjukkan prioritas dalam jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat
dalam bidang politik, mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam
kebudayaan, maka dirumuskan Sembilan agenda prioritas pembangunan yang dikenal
dengan NAWACITA. Butir ke-7 dalam NAWACITA adalah mewujudkan
kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi
domestik, yaitu dengan membangun kedaulatan pangan, mewujudkan
kedaulatan energy, mewujudkan kedaulatan keuangan, mendirikan Bank Petani/
Nelayan dan UMKM termasuk gudang dengan fasilitas pengolahan paska panen ditiap
sentra produksi tani/nelayan, mewujudkan penguatan teknologi melalui kebijakan
penciptaan sistem inovasi nasional.
Jika kita cermati dua (2) momen
waktu diatas, antara teks pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan pada awal
kemerdekaan bangsa Indonesia, dengan terpilihnya Presiden Joko Widodo-Yusuf Kalla (Jokowi-JK) di akhir tahun 2014 tidak
kurang terpaut 69 tahun lamanya. Apakah selama ini sistem ekonomi kerakyatan, yang
sudah diamanatkan dalam konstitusi itu, belum terejawantahkan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara? Untuk menjawab hal tersebut, kita perlu mengetahui
sejarah munculnya konsep dan semangat menjalankan sistem ekonomi kerakyatan di Indonesia.
Konsep ekonomi kerakyatan telah
jauh-jauh hari dipikirkan oleh Bung Hatta—wakil presiden pertama Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Beliau, bahkan jauh sebelum Schumacher—yang
terkenal dengan bukunya Small is Beautiful, dan Amartya Sen—pemenang
Nobel 1998 Bidang Ekonomi, berpendapat bahwa ekonomi kerakyatan merupakan
bentuk perekenomian yang paling tepat bagi bangsa Indonesia (Nugroho, 1997).
Orientasi utama dari ekonomi kerakyatan adalah rakyat banyak, bukan sebagian
atau sekelompok kecil orang. Bung Hatta melalui artikelnya yang berjudul
“Ekonomi Rakyat” yang diterbitkan dalam harian Daulat Rakyat (20 November
1933), mengekspresikan kegundahannya melihat kondisi ekonomi rakyat Indonesia
di bawah penindasan pemerintah Hindia Belanda. Dapat dikatakan bahwa
“kegundahan” hati Bung Hatta atas kondisi ekonomi rakyat Indonesia—yang waktu
itu masih berada di bawah penjajahan Belanda, merupakan cikal bakal dari
lahirnya konsep ekonomi kerakyatan.
Menurut Mubyarto (1999) ekonomi
rakyat adalah sistem ekonomi yang dioperasionalkan melalui pemihakan dan
perlindungan penuh pada sektor ekonomi rakyat. Kontribusi rakyat dalam bidang
ekonomi antara lain pada sektor
pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, industri kerajinan rakyat,
industri kecil serta dalam perdagangan atau kegiatan swadaya lainnya baik di
pedesaan maupun di kota. Ciri utama ekonomi rakyat adalah subsisten dan dengan
modal utama tenaga kerja keluarga dengan modal dan teknologi seadanya
(Mubyarto, 1999).
Berbeda dengan ekonomi konglomerasi,
maka ekonomi rakyat berperan dalam pemerataan pembangunan. Namun dalam
perkembangannya cenderung tertinggal, hal ini disebabkan oleh berbagai kendala,
mulai permodalan, manajemen, teknik dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia.
Istilah ekonomi rakyat diterima dan masuk dalam GBHN 1993 dan Tap MPRS No. II
Tahun 1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta
Berencana Tahapan Pertama 1961-1969. Pencantuman ekonomi rakyat tersebut
dilatarbelakangi oleh risaunya anggota MPR tentang ketimpangan ekonomi dan
kesenjangan sosial. (Mubyarto, 1999)
Untuk mengetahui sejauhmana
cita-cita bapak pendiri bangsa, yang kemudian kembali digaungkan oleh presiden
terpilih saat ini telah terejawantahkan di bumi pertiwi, sebaiknya kita menggenali
dan dapat membedakkan sistem ekonomi kerakyatan dengan sistem ekonomi lainnya
utamanya sistem ekonomi kapitalis dan liberal yang dianut banyak negara saat
ini. Berikut perbedaan sistem ekonomi
kerakyatan dengan sistem ekonomi kapitalis ditinjau dari PERAN NEGARA DALAM
EKONOMI (Revrisond Baswir, 2009) :
Ekonomi Kerakyatan
|
Kapitalisme
|
Negara Kesejahteraan
|
Ekonomi Neoliberal
|
1.
Menyusun perekonomian sebagai usaha bersama
berdasar atas azas kekeluargaan; mengembangkan kooperasi (pasal 33 ayat 1)
2.
Menguasai cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak;
mengembangkan BUMN (Pasal 33 ayat 2)
3.
Menguasai dan memastikan pemanfaatan bumi,
air dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat 3).
4.
Mengelola anggaran negara untuk
kesejahteraan rakyat; memberlakukan pajak progresif dan memberikan subsidi.
5.
Menjaga stabilitas moneter.
6.
Memastikan setiap warga negara memperoleh
haknya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan (Pasal 27 ayat 2).
7.
Memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
(Pasal 34).
|
1.
Mengintervensi pasar untuk menciptanya
kondisi kesempatan kerja penuh.
2.
Menyelenggarakan BUMN pada cabang-cabang
produksi yang tidak dapat diselenggarakan oleh perusahaan swasta.
3.
Menjaga keseimbangan antara pertumbuhan
ekonomi dengan pemerataan pembangunan.
4.
Mengelola anggaran negara untuk
kesejahteraan rakyat; memberlakukan pajak progresif dan memberikan subsidi.
5.
Menjaga stabilitas moneter.
6.
Memastikan setiap warga Negara memperoleh
haknya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
7.
Memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
|
1.
Mengatur dan menjaga bekerjanya mekanisme
pasar; mencegah monopoli.
2.
Mengembangkan sektor swasta dan melakukan privatisasi
BUMN.
3.
Memacu laju pertumbuhan ekonomi, termasuk dengan
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi masuknya invetasi asing.
4.
Melaksanakan kebijakan anggaran ketat, termasuk
menghapuskan subsidi.
5.
Menjaga stabilitas moneter.
6.
Melindungi pekerja perempuan, pekerja anak dan bila
perlu menetapkan upah minimum.
7.
-
|
Peran negara
dalam ekonomi menunjukkan sistem ekonomi yang dianutnya, dari ketujuh butir
diatas dapat kita lihat dan rasakan apakah sistem ekonomi kerakyatan yang telah
diamanatkan dalam konstitusi dan didengukan dari era Bung Hatta sampai rezim
pemerintahan Jokowi-Jk sudah terejawantahkan di bumi pertiwi.
Sebagai
renungan, Sri Edi Swasono (2015) mengemukakan beberapa paradigma baru
perekonomian yang mendukung “hidup”nya sistem ekonomi kerakyatan dibumi pertiwi
yang diantaranya adalah :
1. Sistem ekonomi harus meninggikan asas perorangan (self interest) menegakkan asas bersama (mutual interest), menghidupkan kembali
kebersamaan dan asas kekeluargaan sesuai tuntutan dunia baru setelah runtuhnya
Tembok Berlin (1989) yang mengukuhkan the
brotherhood of men.
2. Sistem Ekonomi harus mengunggulkan “daulat rakyat” dan
meminggirkan “daulat pasar”, artinya dalam pembangunan yang dibangun adalah
rakyat, bukan modal. Pembangunan ekonomi perlu diposisikan sebagai derivat dari
pembangunan rakyat, bangsa dan negara.
3. Perubahan paradigm berlanjut dari yang semula
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan pembagian yang lebih merata dari
pertumbuhan ekonomi itu, menjadi berorientasi pada pembangunan untuk meninggikan
harkat martabat manusia, artinya tidak lagi pembangunan adalah hanya untuk
mencapai peningkatan “nilai tambah ekonomi”, namun juga sekaligus meningkatkan
“nilai tambah social-kultural”. Hal ini mengacu pada pasal 27 Ayat 2 UUD 1945
bahwa “ tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan”.
4. Sistem Ekonomi tidak mengabaikan pendekatan institusi,
bahwa ilmu ekonomi menampung pesan Kontitusi, mengemban cita-cita dan mimpinya
masyarakat, menampung kearifan lokal yang membahagiakan rakyat, mengelar
Indonesianisasi melalui modernisasi yang bukan westernisasi. Ini berarti
membangun dan mengembangkan ilmu amaliah dalam beramal ilmiah.
5. Pembangunan memperoleh definisi barunya yaitu proses
meningkatkan kemampuan rakyat (Sen), oleh karena itu strategi pembangunan tidak
saja sekadar untuk mencukupi kebutuhan hidup massa rakyat, tetapi massa rakyat
itu sendiri haruslah produsen-produsennya.