Keberhasilan
pembangunan merupakan suatu keniscayaan yang dilakukan oleh rakyat dan untuk
rakyat. Siapapun pelaksana pembangunan selalu kembali pada peran dasarnya yaitu
untuk kepentingan rakyat. Saat ini, keberhasilan pembangunan acapkali menjadi
tolok ukur dari keberhasilan kebijakan pemerintah bukan keberhasilan subjek
maupun objek pembangunan yaitu rakyat. Sehingga pergeseran pemaknaan
keberhasilan pembangunan mengecilkan arti pelaku pembangunan yang hanya sebatas
pemegang kebijakan. Seyogyanya keberhasilan pembangunan suatu bangsa dapat
dipandang secara “holistik” dengan menggabungkan pembangunan material dan
spiritual bagi manusianya. Ukuran keberhasilan pembangunan material disajikan dalam
berbagai angka indikator seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, persentase
kemiskinan, hingga angka ketersediaan infrastruktur.Sedangkan dari sisi
spiritual dapat diukur dari persentase kondisi pendidikan, kebebasan beragama,
hingga tingkat kebahagiaan rakyat. Tapi pada hakikatnya indikator hanya sebatas
potret atau gambaran umum yang telah dicapai dibandingkan dengan kondisi tujuan
pembangunan. Tujuan akhir dari pembangunan manusia adalah tingginya
kualitas manusia sebagai kekayaan bangsa
yang sesungguhnya. Lazimnya keberhasilan pembangunan tersebut adalah manusia
sejahtera baik secara material maupun spiritual yaitu minimal mampu
mengkondisikan manusia tercukupi kehidupan yang
layak (sandang, pangan, papan) serta pendidikan dan kesehatan.
Lebih
luas, pembangunan tersebut merupakan peng”ejawantahan” manusia sebagai khalifatul ardhi (penguasa dunia) yang
sama-sama pada pemenuhan kebutuhan untuk hidup yang baik. Menurut United Nation Development Programme (UNDP),
pembangunan manusia dirumuskan sebagai upaya perluasan pilihan bagi penduduk (enlarging the choice of people) yang
terealisasi jika penduduk paling tidak memiliki peluang berumur panjang dan sehat, pengetahuan dan keterampilan yang
memadai, serta peluang untuk merealisasikan pengetahuan yang dimiliki dalam kegiatan yang produktif. Singkatnya, pemenuhan ketiga unsur tersebut sementara ini menunjukkan
keberhasilan pembangunan manusia suatu bangsa.
Apa indikator yang tepat?
Makna
yang luas terhadap pembangunan tentunya harus mempunyai ukuran tingkat
pencapaian, khususnya jika dikaitkan pada level kewilayahan, baik dalam lingkup
negara atau hingga tingkat regional yang lebih kecil. Dalam rangka mengukur
keberhasilan upaya pembangunan kualitas hidup manusia, maka. pada tahun 1990
UNDP merilis indikator untuk yang dikenal dengan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM). Indikator ini menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil
pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, dan pendidikan. Meskipun tidak mengukur semua dimensi dari pembangunan manusia, namun Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) saat
ini dinilai paling
tepat dalam mengukur dimensi pokok dari pembangunan manusia yang terdiri dari umur panjang dan hidup layak, pengetahuan, dan standar hidup layak.
Transformasi IPM metode
baru
Sejak dilaunching pertama kali pada tahun 1990, setidaknya sudah empat kali IPM
mengalami penyempurnaan dalam metode penghitungannya.Transformasi ini sudah menjadi kesepakatan global dan dengan pemilihan indikator baru diharapkan dapat memotret perkembangan pembangunan manusia dengan lebih tepat.
Dalam penghitungan metode baru, dua dari empat indikator yang selama ini digunakan diganti dengan indikator yang lebih tepat dan dapat membedakan dengan lebih baik. Sedangkan dua
indikator lain yang masih dipertahankan adalah Angka Harapan Hidup (AHH) dan
Rata-rata Lama Sekolah (RLS). Hanya saja ada sedikit penyesuaian pada RLS, yang
terkait dengan penetapan batas usia penduduk yang diamati. Dalam metode baru,
batas usia penduduk dinaikkan menjadi 25 tahun, dengan alasan pembangunan baru
sepenuhnya dinikmati setelah melewati proses belajar atau sekolah.
Indikator yang pertama diganti
adalah Angka Melek Huruf (AMH) yang sudah tidak relevan digunakan dalam mengukur pendidikan secara utuh karena tidak dapat menggambarkan kualitas pendidikan. Selain itu AMH di sebagian besar daerah sudah tinggi sehingga tidak dapat membedakan tingkat pendidikan antar daerah dengan baik. Dengan mempertimbangkan alasan tersebut maka AMH diganti dengan indikator Harapan Lama Sekolah
(HLS) dimana HLS itu sendiri didefinisikan
lamanya sekolah (dalam tahun) yang diharapkan akan dirasakan oleh anak pada
umur tertentu di masa mendatang. Diharapkan dengan menggabungkan angka RLS dan HLS mampu memberikan gambaran yang lebih relevan dalam pendidikan dan menangkap perubahan-perubahan
yang terjadi.
Indikator berikutnya yang diganti adalah angka Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita,
yang sudah tidak dapat lagi menggambarkan pendapatan masyarakat suatu wilayah diganti dengan Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita.
PNB sendiri menggambarkan nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh
faktor-faktor produksi milik Warga Negara Indonesia (WNI). Nilai ini ditentukan dari nilai pengeluaran per kapita
dan paritas daya beli dimana untuk perhitungan paritas daya beli pada metode
baru menggunakan 99 komoditas.
Penghitungan
IPM juga harus memperhatikan ketersediaan data sebagai sumber penghitungannya.
Tiga dari empat indikator penghitungan IPM menggunakan data hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan oleh BPS secara semesteran, dan hanya
indikator AHH yang dihitung dari data proyeksi penduduk hasil Sensus Penduduk
Tahun 2010 (SP2010), yang akan segera dievaluasi setelah data Survei Penduduk Antar Sensus
Tahun 2015 (SUPAS2015) selesai diolah.
Perubahan
penghitungan IPM dari metode lama yang berdasarkan rata-rata hitung menjadi
metode baru rata-rata ukur menggambarkan salah satu bentuk penyempurnaan
penghitungan indikator pembangunan. Bagaimana sisi keilmiahan dari matematika
mampu menggambarkan secara proporsional terhadap kondisi sosial kemasyarakatan.
Bagaimana tidak? angka IPM metode baru terbentuk dari nilai akar kuadratik dari
perkalian indeks pembentuknya, sehingga secara langsung nilainya akan
terbobotkan oleh masing-masing nilai indeks pembentuknya. Berbeda dengan metode
lama ,nilai indeks pembentuknya yang rendah akan secara otomatis dapat
“tertolong” dengan indeks yang tinggi. Penghitungan metode baru memberikan warning tingkat pencapaian pembangunan
pada masing-masing faktor pembentuknya.
Perkembangan IPM
Sumatera Selatan
Secara umum level IPM yang
dihitung menggunakan metode baru lebih rendah bila dibandingkan dengan IPM metode lama.
IPM Sumatera Selatan pada tahun 2014 sebesar 66,75 yang masih masuk dalam
kategori “sedang”, dan terus mengalami peningkatan selama 5 tahun terakhir.
Hal yang harus menjadi perhatian adalah determinan dari
perubahan IPM tersebut, yaitu indikator penyusun IPM. Indikator pertama adalah
indikator dari dimensi kesehatan yaitu AHH dimana di
Sumatera Selatan AHH pada tahun 2014
sebesar 68,93 dengan indeks 75,27 (indeks ideal sebesar 100) yang berarti saat
bayi lahir di Sumatera Selatan, secara rata-rata akan hidup hingga usia 69
tahun. Didukung
dengan adanya data di lapangan yang menunjukkan bahwa peran dukun bersalin dalam proses
pertolongan persalinan di Sumatera Selatan masih
sangat besar yaitu sebesar 11,30 %, yang menduduki
urutan ketiga setelah bidan (69,40%) dan dokter (18,69%).
Dilanjutkan dengan indikator kedua
dari dimensi pendidikan
yang menggunakan
HLS dan RLS. HLS Sumatera Selatan pada tahun 2014
sebesar 11,75 tahun dengan indeks 65,28 (indeks
ideal sebesar 100), yang berarti secara rata-rata
penduduk Sumatera Selatan memiliki harapan untuk sekolah hingga kelas 3 SMA. Sedangkan
RLS Sumatera Selatan pada tahun 2014 sebesar 7,66 tahun dengan indeks 51,06 (indeks ideal sebesar 100),
yang berarti secara rata-rata penduduk Sumatera Selatan hanya sekolah hingga
kelas 2 SMP. Hal ini didukung dengan adanya data
di lapangan dimana yang menjadi alasan
utama penduduk di Sumatera Selatan tidak atau belum pernah sekolah adalah tidak
ada biaya, alasan berikutnya adalah karena bekerja, dan alasan terakhir adalah
karena merasa pendidikannya sudah cukup.
Indikator
terakhir yaitu dari dimensi standar hidup layak, didapat data pengeluaran per
kapita yang menunjukkan secara rata-rata daya beli masyarakat
Sumatera Selatan sebesar Rp 9.302.000,00 dengan indeks
67,93 (indeks ideal sebesar 100).
Implikasi Kebijakan
Perubahan
nilai, itulah salah satu efek perubahan metode penghitungan. Apabila pencapaian
pembangunan di masing-masing faktor pembentuknya merata tentunya nilai IPM
cenderung tidak mengalami perubahan yang signifikan. Analisis IPM pun disusun dalam beberapa
kategori, mulai dari rendah
hingga tertinggi. Akan tetapi pada kenyataannya, pencapaian nilai IPM acapkali
menjadi sumber pemeringkatan suatu daerah.
Hal ini dapat menjadi jebakan dalam interpretasi perbandingan pencapaian
pembangunan dengan daerah lainnya. Seringkali
daerah dengan nilai tertinggi mempunyai
kecenderungan merasa lebih baik dalam pencapaian dibandingkan dengan daerah
yang lebih rendah. Sejatinya jika pencapaian nilai IPM tinggi tetapi masih
dalam kategori yang sama dengan daerah nilai IPM terendah, pencapaian pembangunan
di kedua daerah tersebut adalah sama.
Dalam rangka pencapaian pembangunan kualitas manusia, berbagai
upaya pemerintah diperlukan baik dari sisi dimensi kesehatan, pendidikan serta
standar hidup layak. Peningkatan peran tenaga medis yang berkompeten dalam proses persalinan
seperti dokter dan bidan, serta kemudahan akses ke pelayanan kesehatan menjadi
fokus dimensi kesehatan. Menilik dimensi pendidikan, perlu dikembangkan program
pendidikan kesetaraan yaitu kejar paket A,B, dan C, serta perlu adanya
sosialisasi kebijakan sekolah gratis terkhusus daerah pedesaan.
Tanpa mengacuhkan standar hidup layak, pemerintah perlu
mengupayakan agar harga kebutuhan pokok terkendali, pendistribusian yang lancar
serta harga jual komoditas produksi meningkat.
Sebagai indikator,
IPM hanyalah sebagai alat yang digunakan untuk mengukur dan membentuk penilaian
terhadap kualitas manusia, tapi yang paling penting adalah bagaimana komitmen
dan upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas hidup manusia dari berbagai
dimensi. Sehingga apapun indikator terpilih serta metodologi yang disepakati
dunia tidak perlu jadi “momok” dan bukan memberikan rapor merah bagi pemerintah
daerah.